Oleh: Feri Nan Dariyanto
1. Sejarah Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan perkembangan dari pendidikan inkultural. Pendidikan multikultural pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat toleran terhadap para imigran baru dan sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan stabil, Ainul Yakin (dalam Hanifa, 2011). Mulai tahun 1415 negara-negara Eropa melakukan ekspansi menjajah terhadap negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika yang menimbulkan berbagai penderitaan di wilayah jajahan. Akibat perang dunia menyebabkan negara-negara Eropa bercerai berai dan saling bermusuhan yang menimbulkan pengangguran, kriminalitas dan berbagai kerusuhan.
Indonesia memiliki pengalaman yang menyedihkan: kekerasan, pemberontakkan, pembumihangusan, dan pembunuhan genocide. Perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa yang terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram hingga saat ini. Indonesia dengan kondisi geografis dan sosio-kultural yang beragam, menjadi salah satu negara multikultur terbesar. Selain itu ditambah dengan beragamnya agama dan berbagai macam aliran kepercayaan masyarakatnya.
2. Jenis Multikultural
Seorang tokoh bernama Parekh (dalam Kusnarto, 2007) membedakan lima macam multikultural yakni sebagai berikut:
1) Multikultural isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2) Multikultural akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikultural ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3) Multikultural otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan, mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4) Multikultural kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5) Multikultural kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu bahkan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
3. Hambatan Pendidikan Multikultural
Misalnya di indonesia, proses sosialisasi yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan hasil dari proses tersebut, baik atau buruk, telah tertanam dalam benak masyarakat. Inilah yang menimbulkan adanya anggapan-anggapan atas suatu etnis, agama, kelas sosial, jenis kelamin tertentu. Dan tentu saja, manusia mempunyai kecenderungan untuk menggangap dirinya lebih baik dan yang lain sebagai yang lebih buruk atau rendah. Hal inilah yang kerap kali memicu timbulnya pertikaian di Indonesia.
Anggapan sendiri bisa dibagi menjadi dua jenis, yakni anggapan yang membangun gambaran positif dan yang membangun gambaran negatif mengenai suatu kelompok tertentu. Seringkali, jenis yang kedualah yang ditonjolkan. Misalnya suku tertentu pelit, agama tertentu pemalas, jenis kelamin tertentu lemah dan kelas sosial tertentu itu sombong. Padahal, ada kemungkinan besar kalau stereotip ini dipicu oleh satu pihak yang bermasalah dengan anggota kelompok sosial tertentu. Tetapi tentu saja kita tidak dapat menyamaratakan semua orang.
Pada kenyatannya hampir seluruh suku atau etnis di seluruh Indonesia mendapatkan predikat tertentu. Misalnya, suku Padang dikenal sebagai orang yang pelit, suku Batak dengan keberingasannya, suku Jawa sebagai orang yang lambat, dsb. Semua anggapan itu tertanam di benak masyarakat hingga akhirnya masyarakat tidak dapat melihat secara jelas karena begitu banyaknya bias-bias yang menyelimuti mereka. Anggapan ini bahkan tidak hanya sampai pada tingkat pertimbangan pribadi saja karena ini bisa masuk pada masalah ekonomi, politik, bisnis dsb.
Hambatan yang kedua tidak datang dari luar, tapi dari dalam diri kita sendiri, yaitu fanatisme masyarakat sendiri. Kekerasan terjadi dalam kelompok masyarakat sendiri. Contohnya, kita tidak senang terhadap sesuatu, langsung kita bakar, langsung merusak, dan itu menjadi suatu hal yang wajar di masyarakat sekarang ini.
Contoh lain, misalnya si A dalam menjalankan ibadahnya itu harus yang seperti ini. Jika tidak, kita anggap kafir karena tidak sesuai dengan yang seharusnya. Padahal orang bisa berbeda-beda. Orang Indonesia berbeda-beda. Orang Jawa pun berbeda-beda. Orang satu agama, budaya, bahasa, juga punya interpretasi yang berbeda.
Hambatan lain yang ada di Indonesia adalah kurangnya promosi mengenai multikulturalisme. Multikulturalisme sendiri sudah muncul di Indonesia sebagai wacana selama beberapa saat, namun hanya kalangan tertentu saja yang membicarakannya. Hal ini mungkin saja terjadi karena multikulturalisme masih merupakan konsep yang cukup baru di Indonesia dan kalangan-kalangan ini masih mencari tahu cara yang terbaik untuk memperkenalkan konsep ini kepada masyarakat Indonesia.
Semua hambatan-hambatan yang terjadi di Indonesia inilah yang menghalangi multikulturalisme untuk berkembang dan diaplikasikan. Jika anggapan ditambah dengan fanatisme bercampur maka ini akan menjadi sebuah bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Jika ada suatu masalah kecil timbul antar-suku atau kelompok agama, maka bukanlah tidak mungkin akan terjadi pertikaian yang berkepanjangan dan mengganggu stabilitas nasional. Kurangnya promosi mengenai multikulturalisme juga makin menghambat tumbuhnya pemahaman multikulturalisme di Indonesia.
4. Radikalisme
a. Sebab
Radikalisme yang tumbuh tidak hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam konteks lain. Salah satunya adalah radikalisme kedaerahan pada saat ini jauh lebih berbahaya bagi kehidupan kebangsaan dibanding radikalisme dalam konteks lain.
Sebab lain radikalisme ialah tumbuh pada kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Masyarakat yang merasa dizalimi negara. Bisa juga karena merasa bahwa sistem nilai yang sudah ada tidak lagi mampu menjawab perkembangan zaman sehingga menuntut adanya sistem nilai baru.
b. Bentuk
Radikalisme merupakan produk masyarakat. Salah satu bentuk radikalisme di indonesia ialah terjadinya konflik Ambon, Konflik Poso, pengeboman di malam natal, pengeboman dimana-mana. Ada bom buku, segala macamnya termasuk masalah Ahmadiyah di Ciketing dan Cikesik. Bentuk ini terkait dengan kasus yang marak terjadi di lingkungan sekitar saat ini, yakni kasus Terorisme. Masih mengenai terorisme, bentuk semacam ini berawal dari kefanatikan kaum tertentu hingga dikait-kaitkan dengan berbagai aksi kekerasan di Indonesia.
Bentuk radikalisme dalam konteks kedaerahan seperti yang dijelaskan di atas, merupakan salah satu yang dipicu oleh otonomi daerah. Walaupun sebenarnya otonomi daerah itu sebagai perwujudan demokrasi, tetapi karena lemahnya revitalisasi nilai-nilai kebangsaan, akhirnya malah berkembang dalam bentuk radikalisme.
c. Cara Menanggulangi
Untuk mencegah merebaknya radikalisme, hal utama yang harus di perhatikan ialah melakukan revitalisasi Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok intelektual harus melakukan upaya revitalisasi ini untuk menyelamatkan keindonesiaan. Polri menerapkan dua cara dalam menanggulangi radikalisme dengan pendekatan anti kekerasan dan pendekatan yang tegas dan keras melalui penegakan hukum.
Mengenai radikalisme yang di sebabkan fanatisme masyarakat dalam menjalankan ibadahnya, Nur Hidayat (dalam Mahamel, 2011) mengatakan radikalisme terjadi karena umat Islam tidak mengerti akan keislamannya. Ia mengatakan, Inti daripada Islam itu adalah penegakan keadilan dan kebenaran titik. Ketika kita berbicara orang kafir, sebetulnya yang disebut dengan orang kafir itu adalah orang zalim. Al Quran memerintahkan berperang adalah dalam rangka penegakan kebenaran dan keadilan melawan penindasan. Bahwa tidak akan mungkin radikalisme ini dihadapi dengan kekerasan. Tegakkan saja keadilan dan hukum, ada kemakmuran, maka tidak mungkin ada kekerasan.
Antisipasi mengenai Terorisme, Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Achmad Satori Ismail menyerukan agar adanya penanaman akidah Islam secara benar pada generasi muda Muslim di Indonesia. Langkah ini merupakan salah satu upaya preventif agar generasi muda Islam tidak terpikat pada pesona radikalisme dan terorisme. Semua pihak harusnya bisa berperan serta untuk memberikan penanaman akidah yang lurus, benar, tidak ekstrem, dan menempatkan bahwa Islam itu adalah rahmatan lil alamin.
5. Pendidikan Multikultural Konteks Indonesia
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
ini karyanya Feri... hahaha,
BalasHapusdia skrg mnggelut2-i pendidikan. kcian. :D
wah, tulisan q kug mampang d sne ya', hahaha... smoga bermnfaat, artikel terkait, http://ferdonan.co.cc/
BalasHapuskunjngi ya'? MBI, Scintific Center, You are bridge to success in my life, MBI increase the achievements, SMANGAT!